Angka
pada layar digital di antara dua kakinya bergerak naik dan akhirnya berhenti
setelah berkedip dua kali. Angkanya sudah tidak berubah lagi. Kemudian ia
memekik pelan seakan ingat akan sesuatu, Eliana turun lagi lalu melepas piyama
bahkan hingga pakaian dalamnya. Iya menggumamkan doa sebelum perlahan kakinya
berpijak lagi pada
timbangan. Ia menahan napas dan tanpa
sadar memejamkan mata rapat-rapat. Keringat
bercucuran di jidatnya. Minggu depan ia akan berangkat ke New York untuk
mengikuti undangan casting. Ia diharapkan managemennya untuk kembali
berpartisipasi dalam New York Fashion Week.
Ia tidak boleh kehilangan kesempatan
ini. Begitu banyak model baru bermunculan
dan seringnya mereka masih berusia belasan tahun.
Eliana
perlahan membuka mata dan angka timbangan berkedip dua kali menampilkan angka
yang sama seperti sebelum ia menanggalkan pakaiannya. Eliana mengumpat pelan kemudian menatap tubuh
telanjangnya di depan cermin. Ia bisa melihat pinggulnya
sedikit lebih besar dari sebelumnya.
Ia menggigit bibirnya sambil menangis.
Ia menghabiskan setengah hari dengan terus
kardio di apartemennya.
Sialnya, otaknya mengirimkan
sinyal meminta karbohidrat. Otak sialan yang begitu menyukai makanan. Eliana
memutuskan untuk mandi dan bersiap pergi keluar. Lagipula ia sudah cukup lama
tidak mengunjungi salah satu tempat favoritnya,
toko buku.
*
Mata
Eliana menyusuri rak rak buku new release.
Novel-novel baru dengan nama penulis-penulis yang juga baru serta beberapa novel terbitan
penulis ternama yang dikenalinya. Eliana mengambil satu buku dan membaca bagian
belakang sampul buku.
Ia juga melakukan riset kecil dengan mengecek buku tersebut di goodreads untuk mengetahui garis besar cerita.
Tas
plastik di tangannya tiba-tiba dipenuhi tumpukan buku. Sebagian besar novel
ilustrasi atau komedi romantis. Ia suka kisah-kisah ringan yang membuatnya
merasa rileks. Kadang ia juga masih suka membaca teenlit walau orang-orang suka
mengejek selera bukunya. Eliana tidak
peduli, lagipula ia membaca bukan untuk membuat orang lain terkesan. Ia membaca
apapun yang membuatnya merasa gembira.
Eliana
berjalan ke tumpukan buku doodle di
sebelah rak buku pengembangan diri. Dan di sanalah ia menemukan seorang pria dengan tinggi badan menjulang, mungkin
183cm, ia mengenakan kaos biru polos dan jins,
sebuah buku di tangannya. Wajahnya sedikit menunduk, terlihat serius, alisnya
yang tebal saling bertaut, dan mulutnya sedikit mengerucut. Tanpa sadar senyum Eliana
mengembang.
Barangkali
pria tersebut merasa
diperhatikan, ia mengangkat wajahya, dan mata keduanya bersirobok. Eliana
segera membuang muka dan berdeham pelan. Namun tanpa disangka pria itu tersenyum ke padanya.
Arka menutup buku berkover
putih di tangannya dan meletakkannya kembali ke rak. Eliana jadi tidak punya
pilihan selain membalas senyuman Arka. Lagipula senyuman Arka cukup langka. Arka menjadi
sosok yang berbeda di luar urusan kantor. Ia menjadi laki-laki normal pada
umumnya. Sederhana dan santai. Di kantor ia menjadi sosok yang dingin dan cenderung apatis.
"What a nice
coincidence." ujar Arka sembari
tersenyum kecil.
Eliana
hampir tidak mempercayai pendengarannya. Benarkah tadi Arka bilang ini
kebetulan yang indah? Apakah Arka merasa senang bertemu dengannya?
"Sering
mampir toko buku?" Eliana balas berbasa basi.
"Lumayan.
Kamu?"
"Jarang.
Tapi sekalinya mampir biasanya ngeborong." Eliana memamerkan tas
belanjaannya.
Arka
melirik sekilas buku dalam kantong belanjaan Eliana. "Nggak nyangka kamu
suka baca novel."
"Ya, kamu orang kesekian
yang bilang gitu." Eliana mengedikkan bahu. "Lagi nyari buku
apa?"
"Sebenarnya
nggak lagi nyari buku tertentu. Cuma lihat lihat aja." ujar Arka kemudian
ia menatap Eliana agak lama.
Eliana
yang semula tersenyum jadi salah tingkah. Ia mengingat-ingat penampilannya saat
ini. Ia mengenakan blus putih potongan sederhana, boyfriend jins,
dan sepatu usang kesayangannya. Rambutnya dicepol acak karena ia sedang malas
menata rambutnya. Ia tidak mengenakan make
up apapun selain bb cream dan lipgloss. Ia merasa tidak ada yang istimewa
dalam penampilannya tapi tidak bisa dibilang memalukan. Bagaimanapun ia manusia
biasa yang tidak selalu tampil sempurna.
Eliana kira Arka akan mengomentari penampilannya seperti biasa. Arka selalu
berkomentar soal penampilannya sebagai brand
ambassador setiap kali ia
merasa tidak sesuai.
Eliana sudah menyiapkan argumen untuk itu tapi ternyata Arka melihat sekeliling dan
bertanya. "Ke sini sama siapa?"
"Hah?"
Arka
mendekat dan mengulangi pertanyaannya. “Sendirian?”
Eliana
menjawab dengan muka polos. "Ya."
"Sudah
makan?"
"Belum."
"Di
dekat sini ada sushi yang enak. Suka sushi?"
"Hah?"
Eliana cepat cepat meralat jawaban
bodohnya sebelum Arka menyadari. "Ya.
Suka." ia berusaha tersenyum meski terasa aneh.
Berbeda
dengannya, Arka justru tersenyum dengan sangat mudahnya. Bagaimanapun Eliana
masih tercengang atas begitu
bertolakbelakangnya Arka di kantor dan di kehidupan sehari-hari. Arka berjalan
lebih dulu di hadapannya menuju kasir dan Eliana mengikutinya seperti kerbau
dicocok hidung.
*
Restoran
kesukaan Arka rupanya juga retoran Jepang kesukaan Eliana. Mereka memesan
makanan kesukaan masing-masing. Arka meminta Eliana memperlihatkan buku-buku yang baru
dibelinya. Arka berhasil menebak beberapa
judul novel yang difilmkan. Arka bilang ia jarang membaca fiksi tapi ia mengikuti
fiksi lewat film.
Arka
bercerita tentang beberapa novel yang akan diangkat ke layar lebar dalam waktu
dekat. Eliana tidak terlalu mengikuti perkembangan film tapi ia cukup antusias
ketika tahu beberapa novel kesukaannya akan difilmkan.
"Begitu filmnya rilis,
mau nonton bareng?"
"Mau
banget. Sama siapa nontonnya?"
"Sama
aku."
"Terus?"
Arka
tidak langsung menjawab pertanyaan
Eliana.
Senyum
Eliana memudar perlahan.
Arka
menatap Eliana lagi dengan cara yang sama dengan di toko buku. Tatapan mata
yang tenang dan sedikit terlalu percaya
diri. “Apa
keberatan kalau aku mengajakmu nonton berdua saja?”
Eliana
ingin memperjelas apakah itu ajakan kencan atau apa. Ia ingin memastikan apakah
mereka sungguh akan menonton film berdua
saja? Tapi panas di kedua pipinya membuat
Eliana kehilangan kata-kata.
Seorang
pelayan datang dan menaruh hidangan di antara mereka. Arka mengambil gelas
ochanya, meniup uapnya, lalu meminumnya. Eliana menatap hidangan di hadapannya
dan baru sadar ia mengkhianati rencana dietnya. Kini sudah terlambat menyesali.
“Gimana?” ulang Arka dengan nada tenang.
Eliana membasahi bibirnya sesaat sebelum menjawab. “Oke.”
Eliana bisa melihat senyum puas di wajah Arka. Senyum
yang hanya pria itu berikan ketika proyek berakhir sukses. Kemudian mereka
menikmati hidangan di hadapan mereka sembari meneruskan obrolan mereka mengenai
film-film yang diangkat dari novel best
seller.
*