Kemarin ada yang mengeluh bahwa mengawali cerita dalam novel itu susah. Saya menyarankan agar awal cerita dimulai dengan sesuatu yang menggebrak. Karena saya ga punya palu suka gebrakan berada di klimaks maka saya biasanya membuat prolog dengan "potongan adegan yang menarik perhatian plus sedikit misteri".
Di bawah ini adalah contoh prolog novel saya yang berjudul MA(Y/i)A. Novel ini masih dalam masa penilaian penerbit. Jadi belum diterbitkan. Tapi gapapalah saya pamerkan sedikit untuk contoh.
PROLOG
Nisan berjejer. Hujan mulai menetes. Satu. Dua. Tiga. Ia menghitung dalam hati. Tidak ada angin. Tidak ada udara dingin. Jakarta sering menurunkan hujan di tengah cuaca panas, tak peduli semenyengat apa matahari. Hujan hanya mampir berlalu di sini, angin menerbangkan sisa hujan ke tempat lain.
Maka ia berkeras menemukan nisan di antara puluhan nisan di sana.
TJIANG MEI MEI.
Itu dia makam ibunya.
Bukan. Dia bukan keturunan Tionghoa. Ia pemuda asli keturunan Jawa dengan kulit coklat dan mata lebar. Ia berhenti membayar pajak tanah makam Ibunya dan tiba-tiba saja ada mayat baru di atas tubuh ibunya. Sederhana saja.
Tjiang Mei Mei, lo beruntung banget ditanem sini. Deket sama Nyokap gue. Tiap gue bawa kembang, lo gue kasih. Tiap gue kirim doa, lo kecipratan juga.
Pemuda itu menggerutu dalam hati. Namun itu permintaan Ibunya untuk tidak menghabiskan uang pada sesuatu yang tidak bermakna. Kenangan tetap selalu tersisa, benda tak lebih hanya kail pemicu. Selama kenangan itu ada, rasa itu masih tetap membekas.
Perkataan Ibunya benar. Waktu sepuluh tahun tidak membuatnya melupa.
Ia membersihkan tanah makam dari rumput-rumput liar kemudian membuka plastik berisi kembang mawar, melati, dan kenanga yang dibelinya di depan pintu makam. Berdoa sebentar dan menyebarkan bunga tersebut ke atas tanah makam. Sebelum beranjak pergi, ia membayar sejumlah uang ke penjaga makam. Hanya untuk meyakinkan makam ibunya – dan juga Tjiang Mei Mei, pastinya – selalu terawat.
Ketika ia sampai ke mobil pick up dengan cat terkelupas sana-sini, ponsel yang ditinggalkannya di dashboard mobil berbunyi nyaring. Bu Lik-nya di kampung menelpon. Baik sekali, kalau tidak bisa disebut sial sekali.
“Le? Piye kabarmu?”
“Baik, Bu Lik,”
“Wes enthuk jodoh?”
Ah…, dia mengerang dalam hati.
“Wis gedhe kok ga kawin-kawin. Mau jadi apa kamu, Le? Perjaka tua?”
Ia menghitung usia. Dua puluh delapan tahun. Dia sungguh sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Untuk itu ia hanya bungkam tanpa perlawanan. Bu Lik-nya pasti sudah mengisi amunisi penuh untuk serangannya kali ini.
“Le, kamu inget sama Maia? Itu lho anaknya Lek Sri yang lagi nyari kerja. Dia mau ke Jakarta. Kamu kasih dia kerjaan di tempatmu. Sekalian nanti Bu Lik jodohkan kamu sama dia, ya? Anaknya baik, cantik, pinter ngurus rumah, cocok wes sama kamu.”
“Manusia bukan?”
“Kuntilanak!” Bu Lik-nya mulai geram. “Ya, manusia lah, Le! Kamu iku pancet ae!! Ga berubah! Nggegetno!”
Ia memutar mata dan membalas dengan malas-malas. “Inggih. Terserah Bu Lik wes,”
Ia mematikan ponsel dan menyalakan rokok. Nikotin adalah obat yang mampu melemahkan ruwet kinerja otaknya. Sambil menghembuskan asap rokok, ia memandang keluar jendela mobil. Seorang laki-laki berdiri di seberang jalan, menatapnya. Laki-laki di seberang jalan itu seketika berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa.
“Jo! Jojo!“ lelaki itu memanggil namanya.
Ia acuh, menyalakan mesin mobil, dan bertingkah seakan tidak mendengar apapun.
Dari kaca spion ia melihat laki-laki itu masih berdiri di tempatnya ketika mobilnya melaju.
Ayahnya.
Terdapat beberapa pertimbangan ketika menuliskan prolog di atas, yakni:
Pertama, Saya menggunakan setting tempat yang menarik, makam ibu sang tokoh utama. Mendeskripsikan sisi menariknya dan setting suasana.
Kedua, saya jelaskan karakter sang Tokoh Utama dengan detail gerak tubuh dan cara ia berpikir. Saya lebih suka menjelaskan tokoh dengan cara demikian ketimbang narasi. Sebab saya tidak suka "menghakimi" tokoh. Saya membiarkan pembaca menilai sendiri sifat tokoh-tokoh dalam novel saya. Misalnya dalam tokoh Jojo di atas, saya menulis di draft bahwa karakternya: cuek, suka seenaknya sendiri, menyebalkan, peduli dengan keluarga, memiliki beban, suka merokok, dan memiliki masalah dengan ayahnya. Nah, daripada saya menarasikan hal-hal tersebut, dengan menulisnya terang-terangan, saya lebih suka membuai pembaca dengan adegan-adegan.
Ketiga, saya berusaha menciptakan suasana yang membuat pembaca berpikir Ini kenapa Jojo kok ninggal Ayahnya gitu aja?. Nah untuk itu saya harap pembaca mau membuka halaman-halaman selanjutnya dan menemukan jawabannya sendiri.
Salam HITZ,
yes yes yes yes yes... If you love me say yes yes yes yes yes...
Ngomong-ngomong kapan ya, tetangga kamar kosan saya berenti nyanyiin lagu itu? *nanya sambil kebawa nyanyiannya* *hadeh*